Rakyat Papua
Tangisan demi tangisan
tertindas demi tertindas
Oleh: Yatri Dumupa
reprensih buku: judul “Papua tahanan Republik Indonesia“ “negara merampas hak rakyat Papua”
Rakyat Papua adalah satu derita satu harapan dan juga benih besar yang pankas habis yaitu memaksa dan meyakinkan, untuk rakyat Papua, bergabung dalam NKRI, dengan adanya impian dari negara kolonialisme namun berusaha untuk mewujudkan harapan-harapan NKRI, dan lainnya, ketika muncul bagian tubuh, artinya adalah kepala, tangan, kaki, dan sebagainya.
Setiap bagian tubuh itu memiliki fungsinya masing-masing, untuk tubuh itu dapat bertahan hidup. terdapat peran setiap bagian tubuh dalamnya adalah kesatuan tindakan oleh kolonialisme. tidak hanya itu banyak hal” yang melakukan terhadap tubuhnya rakyat Papua.
Misalnya, kepala sakit harus dicarikan obat atau dipijat, atau ketika kaki terkilir harus dicarikan obat, seperti betadin, lalu perban (casa steril), atau untuk memaksimalkan kesembuhan bisa dibersihkan dahulu dengan air hangat sebelum perawatan dengan betadin dan perban. Begitu untuk setiap bagian lainnya.
Di ibaratkan Rakyat Papua tertindas, harus dilihat seperti seluruh tubuh yang sedang sakit dan tidak bisa di biarkan begitu saja. Selama ini parah aktivis dan para intelektual Papua menyiksa, menganiyayah, dll.
Melakukan oleh pihak TNI/POLRI dan negara, hanya karena berusaha untuk mewujudkan harapan-harapan NKRI yang palsu itu sendiri, dan juga sangat apa yang dirasanya oleh para aktivis dan intrektual Papua paling benar, karena perjuangan pembebasan, dan objeknya adalah rakyat.
para aktivis dan intrektual Papua melakukan aksi atau demo damai untuk menyampai aspirasi-aspirasi apa yang kita rasakan pastinya pihak TNI/POLRI datang untuk membumkam dan tuduh menuduh, dan juga memaksa dan meyakinkan kepada pemerintah kolonial, yang nyata-nyata juga dilakukan kepada rakyat.
Jika pemerintah kolonial melakukan apa yang disebut sentralisasi seluruh kebijakan, sebenarnya tiada bedanya dengan yang dilakukan oleh aktivis dan intelektual pembebasan di Papua. Rakyat tertindas selalu digiring untuk melakukan apa yang mereka inginkan, bukan apa yang rakyat inginkan.
Dimasa awal kolonialisme Indonesia. keinginan rakyat Papua sebagai cara membangun propaganda dan mengalang kekuatan politik sangat tepat.
Tetapi dengan kondisi sosial politik hari ini, propaganda tentang persatuan dan nasionalisme hanya akan menumbuhkan kesadaran yang labih dan tidak berakar, bahkan tidak menutup kemungkinan menciptakan para penindas baru dari kalangan rakyat dan aktivis itu sendiri.
Kalau boleh kita juluki, mereka adalah penghianat yang tidak bersalah karena gerakan pembebasan pada titik tertentu menjadi buntu dan hanya memberikan jalan kompromi terhadap penindasan yang tak ada ujungnya.
Mengapa demikian? karena gerakan pembebasan tidak beradaptasi terhadap perubahan sosial, politik, bahkan budaya rakyat tertindas. Perubahan-perubahan itu terjadi dengan cepat baik secara alami maupun sengaja dikondisikan (di ciptakan) dan di kontrol kekuasaan kolonial dan imperialisme itu sendiri.
Pertama, mereka membentuk kembali kesadaran kesukuan (premordialisme) di Papua melalui Otsus dan pemekaran. Cara ini mudah dilakukan karena Papua memiliki 300-an suku yang pada dasarnya berbeda satu dan lainya.
Persatuan awal oleh para misionaris dan Belanda itu telah dihancurkan dengan ego dan sentimen-sentimen di era Otsus. Otsus tidak hanya merusak hubungan antara suku bangsa Papua tetapi juga kepada para penduduk transmigran yang dimobiliasi kolonial datang menetap di Papua dan tidak lagi mengetahui cara untuk kembali ke daerah asal, mereka ini sekarang adalah kelompok rentan dari terciptanya politik identitas hari ini.
Dampak lain Otsus yang luput dan jauh dari gerakan pembebasan, yaitu terciptanya rakyat perkotaan (urban) yang semakin kompleks di wilayah pemekaran. Yang pertama adalah kemiskinan. Kemiskinan Papua meningkat dan menjadi nomor satu di Indonesia, itu dapat kita lihat pada pusat-pusat kota di seluruh Tanah Papua, dengan tingginya anak putus sekolah, meningkatnya anak jalan atau dikenal dengan anak aibon, prostitusi anak dibawah umur, hingga meningkat juga kriminalis karena ini.
Kelompok urban berikut adalah ASN dan pengusaha, mereka adalah kelompok yang relatif stabil secara ekonomi, karena karakteristik yang oportunis dan tunduk dibawah kekuasaan kolonial. Walau begitu kelompok ini lebih sadar dalam mengikuti fenomena sosial dan politik, termasuk mengikuti perkembangan perjuangan politik kemerdekaan. Sehingga orientasi politik rakyat urban jenis ini sangat fariatif dan sulit ditebak.
Kedua, penguasaan setiap wilayah tanah Papua berdasarkan kepentingan investasi ekonomi. Setiap daerah yang menjadi sasaran investasi diciptakan konflik berkepanjangan disana. Sehingga energi rakyat untuk perjuangan terkuras dengan perjuangan perampasan tanah adat, konflik antara suku, antara etnis, bahkan dengan pemerintah tingat daerah mereka masing-masing.
Konflik masyarakat adat ini bahkan berdampak langsung kepada para perempuan asli yang masih terhubung langsung dengan lingkungan asli dan adat istiadat, mereka terpaksa harus berubah.
Sebagian menjadi buruh tanpa skill dalam perusahaan diwilayah mereka, sebagian memilih mengantungkan hidup menjadi pedagang kecil yang diupakan (kita sebut mama-mama pasar). Akhirnya terciptanya ketergantungan terhadap dua hal diatas. Sebagian rakyat tertindas Papua menaruh harapan masa depannya pada Otsus yang diberikan kolonial. Khususnya masa depan wilayahnya sendiri, misalnya Anim-Ha berharap Otsus mempu membangun daerahnya. Proses pembangunan 25 tahun Otsus adalah menghapus persatuan dan kesatuan rakyat tertindas di Papua.
Sumber reprensih buku “Papua tahanan Republik Indonesia“ “negara merampas hak rakyat Papua”
https://akudanpenahitamku.wordpress.com/2020/11/02/rakyat-papuatangisan-demi-tangisantertindas-demi-tertindas/